PPTI selanjutnya berubah status menjadi Partai Politik.
Perubahan ini beradasarkan himbauan Wakil Presiden Republik
Indonesia, Drs. Muhammad Hatta pada tanggal 23 November 1945 yang memberikan
kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik
sesuai dengan alam demokrasi pada saat itu. PPTI yang berstatus sebagai
organisasi sosial keagamaan kemudian berobah menjadi partai politik dengan nama
Partai Politik Tarekat Islam (PPTI).
Dibawah kepemimpinan Syekh Haji Djalaluddin, perubahan
organisasi PPTI dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik tentu
saja membawa implikasi positif bagi perkembangan sejarah PPTI yang
pada mulanya hanya merupakan organisasi yang bersifat lokal, dan ini tertuang
dalam misi PPTI diantaranya : Karena status partai-partai politik dalam suatu
negara adalah bersifat nasional, maka mau tak mau PPTI harus meningkatkan
levelnya sebagai partai nasional.
Dalam sejarah PPTI harus melebarkan
sayapnya ke seluruh Indonesia serta harus membentuk Dewan-Dewan Pengurus Daerah
dan juga harus memperbanyak anggotanya, terutama di luar Minangkabau. Karena
PPTI merupakan organisasi atau partai politik yang bersifat nasional, maka PPTI
harus memindahkan pusat kegiatannya dari Bukittinggi ke Jakarta.
Pemindahan pusat PPTI ini ke Jakarta membuka lembaran sejarah
PPTI yang baru dan dilaksanakan sepenuhnya setelah Pemilihan Umum pertama
tahun 1955. Sejak itu Dewan Pengurus yang berada di Bukit tinggi berubah
menjadi Dewan Pengurus daerah. PPTI harus mampu menyiapkan kader-kader politik
dan organisatormya harus berbobot karena kompetisi yang sangat kompetitif untuk
memasuki lembaga eksekutff dan legislatif. PPTI harus memelihara, menjaga dan
memegang teguh kepribadian sebagai partai politik dan tidak mudah terpengaruh
dengan gelombang-gelombang politik.
Masa Revolusi Fisik
PPTI ikut serta dalam memikul tanggung jawab dengan
membentuk barisan perjuangan rakyat yang dinamakan Barisan Tentara Allah,
sebuah nama yang sangat perenialis. Kontribusi organisasi ini dalam melawan
penjajah cukup berarti. Barisan Tentara Allah ini dikomandani langsung oleh
Syekh Haji Djalaluddin.. Dalam perjuangan pada masa revolusi fisik tersebut,
banyak anggota PPTI yang gugur, diantaranya : Syekh Ismail al-Khalidi, gugur di
Palangki Sijunjung, Haji Ibrahim, gugur di Padang Sibusuk, Haji Umar, gugur di
Lubuk Basung, Bahar Munaf, gugur di Tabing Padang, Singa Barantai, gugur pada
waktu Agresi Belanda II dan Zainuddin, gugur di Batu Sangkar.
Perkembangan organisasi
Dalam kurun waktu 10 tahun sejak berdirinya PPTI, anggota
PPTI telah bertambah. Dengan bertambahnya para anggota PPTI ini otomatis banyak
dibentuk cabang-cabang PPTI di beberapa daerah diantaranya : Kalimantan,
Sulawesi Selatan, Tapanuli Selatan dan Tanjung Karang, Lampung. Syekh Haji
Djalaluddin mengklaim bahwa pada tahun 1952 anggota PPTI telah berjumlah
5.000.000 orang, bahkan tahun 1954 telah mencapai 7.500.000 orang. Puncak dari
perjuangan politik PPTI terlihat ketika PPTI masuk kedalam lembaga DPRS/MPRS
Pusat di Jakarta setelah Pemilihan Umum I tahun 1955. Syekh Haji Djalaluddin
berhasil menduduki “kursi” yang merupakan jatah dari PPTI.
“Kepandaian dan insting politik” Syekh Haji Djalaluddin juga
cukup tinggi. Syekh Haji Djalaluddin berhasil menjalin hubungan balk dengan
Presiden Soekarno. Salah satu usahanya dalam menyebarkan tarekat Naqsyabandiah
adalah memberikan nama Tarekat Sukarnowiyah. Suatu usaha yang bisa dilihat dari
dua sisi, pragmatis dan keluwesan dalam berpolitik. Hal ini membuat banyak
khalifah-khalifah tarekat Naqsyabandiah mengakui keunggulan Syekh Haji
Djalaluddin dan kemudian masuk PPTI dengan alasan keamanan. Jiwa “kompromis”
juga terlihat ketika Syekh Haji Djalaluddin menjalin hubungan baik dengan
organisasi Muhammadiyah.
Syekh Haji Djalaluddin menghibahkan tanahnya untuk dibangun
sebuah masjid yang kemudian diberi nama Baitul Jalal (Rumah Syekh Haji
Djalaluddin). Sejak berdiri tahun 1957, masjid tersebut dikelola oleh
organisasi Muhammadiyah yang berlokasi di Aua Tajungkang Bukittinggi.
Kembali Khittah
Setelah 15 tahun PPTI berstatus sebagai partai politik,
akhirnya PPTI kembali khittah yang pertama yaitu kembali menjadi organisasi
sosial keagamaan. Hal ini disebabkan karena keluamya himbauan dari pemerintah
Republik Indonesia untuk menyederhanakan jumlah partai-partai di Indonesia.
Maka PPTI yang semula partai politik berubah menjadi Persatuan Pengamal Tarekat
Islam. Aspirasi politik mereka salurkan kepada Golongan Karya (Golkar), suatu
hal yang logis clan pragmatis pada waktu itu.
Sejak tahun 1975, PPTI mengalami konflik internal. Hal ini
disebabkan karena Syekh Haji Djalaluddin sudah sepuh (waktu itu beliau berusia
89 tahun). Akibatnya ada sebagian anggota dari PPTI ingin kembali ke nama
semula, Persatuan Penganut Tarekat Islam dan dilain pihak lahir pula nama
Persatuan Pembela Tarekat Islam. Untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang
berkonflik tersebut, akhirnya Golkar (organisasi peserta pemilu yang salah satu
onderbouw nya adalah PPTI) terpaksa “turun tangan” dan menyatukan kembali
dalarn Persatuan Pembina Tarekat Islam (PPTI juga).
Namun perpecahan internal tersebut, walaupun telah mampu
didamaikan oleh Golkar, tetap menjadi potensi yang potensial. Hal ini terlihat
kejayaan PPTI selama dibawah kepemimpinan Syekh Haji Djalaluddin tidak mampu
dilakukan kembali oleh para penggantinya. Syekh Haji Djalaluddin sebagai pendiri
PPTI memimpin organisasi ini dengan berbagai dinamika, berbagai suka duka, dan
berbagai “trik politik” yang pada dasarnya sebagai perwujudan kecintaan beliau
terhadap Islam dan organisasi yang dipimpinnya, sejak mulai berdiri hingga
tahun 1975.
Estafet kepemimpinan
Karena sudah dianggap sepuh, pimpinan PPTI diambil alih oleh
Azwar St. Amiruddin, dari kalangan famili Syekh Haji Djalaluddin. Namun
selanjutnya sepeninggal Syech Haji Djalaluddin banyak mengalami kemunduran dari
beberapa kepemimpinan sudah tidak pernah terdengar dikalangan masyarakat
dan ormas Islam sekarang ini. sehingga Syech M.Idrus Bahauddin, BA dari Jambi
merasa bertanggung jawab terhadap PPTI memberikan amanah terhadap kader muda
untuk bisa berkembangnya PPTI kedepan memberikan tongkat kepemimpinan sementara
untuk sampai tertatanya kembali organisasi PPTI secara nasional mengangkat
Akhmad Faisal, SH,MH, sebagai pelaksana tugas ketua umum PPTI dan saat ini
dengan Surat Penugasan yang sah dari DR.Mochtar Doya, memberikan amanah kepada
Pembina Yayasan Babussalam selaku Sayid Mursyid dan Ahli Silsilah Penerus Thoriqoh Samman
Al Qodiri Al Khalawati Wa Naqsyabandi Al Kholidi menggerakan segenap komponen
muda untuk mengaktifkan kembali PPTI tercinta ini.
Demikian singkat sejarah PPTI dari tahun
1920 hingga kini.